Senin, 07 Mei 2012

Sekolah Mahal, Siapa Peduli?

Tahun ajaran baru telah tiba, muncul kecemasan di antara para orang tua tentang pendidikan putra-putrinya.
Pertama, apakah putra-putrinya bisa masuk sekolah sesuai yang diinginkan. Kedua, jika tidak, apakah mampu membayar biaya sekolah yang dinilai mahal oleh banyak kalangan.

Dalam proses pemintaran dan pemberdayaan pendidikan, menjalankan peran orang tua bukanlah sesuatu yang mudah dalam kondisi sistem pendidikan yang telah salah kaprah menganut paham privatisasi dan liberalisasi.
Kemunafikan bahkan kejahatan dalam praktik pendidikan bisa dilihat dari hal-hal yang dianggap kecil dan sederhana. Akan tetapi, sesungguhnya berimplikasi besar bagi keberlangsungan pendidikan bagi rakyat kecil, terutama warga miskin.
Terlebih lagi, ketika pihak sekolah berhasil memengaruhi dan memobilisasi orang tua siswa, dewan sekolah, dan pihak-pihak terkait untuk menyetujui adanya pungutan dengan dalih untuk peningkatan mutu. Dalam hal ini, mekanisme pasar seolah-olah menjadi hal yang halal dan wajar.
Senang atau tidak senang dan suka atau tidak suka, li¬beralisasi, komersialisasi dan privatisasi di tubuh lembaga pendidikan kita berdampak pada tingginya biaya pendidikan. Karenanya, rakyat kecil tidak lagi bisa menjangkau biaya pendidikan yang terkadang memang tidak realistis.
Kejengkelan terhadap sistem pendidikan yang tidak berpihak pada kaum miskin seolah menjadi mata rantai yang terus melilit leher rakyat kecil. Lalu, siapa yang peduli terhadap mahalnya biaya pendidikan? Benarkah pendidikan yang mahal pasti bermutu? Lalu siapa yang bisa menghentikan laju mahalnya biaya pendidikan di negeri ini?
Salah Lumrah?
Dengan semangat privatisasi (otonomi), sekolah tanpa sadar atau malah sangat menyadari, telah menempatkan diri sebagai “makelar” dalam arti sesungguhnya. Sekolah dimanfaatkan sebagai ladang subur untuk mendulang keuntungan lewat sistem penerimaan siswa baru, penarikan uang gedung, sumbangan pendidikan, pembelian buku paket pelajaran, kain seragam, dan program akselerasi, Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), serta berbagai istilah lainnya, yang pada akhirnya hanya membebani masyarakat dengan berbagai pungutan yang tidak murah.
Dengan alasan otonomi dan peningkatan mutu pendidikan, sekolah nyaris kehilangan rohnya sebagai lembaga yang seharusnya lebih humanis sebagai tempat menimba ilmu dan menempa pekerti.
Sekolah tidak lagi menjadi tanggungan pemerintah, cukup diserahkan pada mekanisme pasar. Di situlah sekolah berangsur-angsur menjadi tempat eksklusif yang memberikan pelayanan hanya bagi mereka yang mampu mem¬bayar.
Sekolah yang dicita-citakan dapat memberikan kesempatan pendidikan yang murah bagi kebanyakan anak negeri ini, namun toh akhirnya yang menikmati adalah kala¬ngan yang beramunisi finansial besar.
Pragmatisme pendidikan semacam inilah yang sesungguhnya salah, tetapi masih dianggap lumrah (dalam batas kewajaran). Namun, ini akhirnya mengakibatkan biaya sekolah menjadi sangat mahal dan elitis, dalam arti cuma menjadi wilayah para borjuis (orang-orang berduit). Sementara itu, anak-anak yang berpotensi namun tidak memiliki cukup biaya harus terpental sebelum sampai bangku sekolah.
Dengan demikian, menanggapi realitas mahalnya biaya pendidikan dan praktik privatisasi yang kian masif, kiranya kita semua tidak perlu berpangku tangan dan sibuk mencari kambing hitamnya.
Masing-masing diri dari kita mempunyai tanggung jawab untuk ambil bagian membantu membebaskan ge¬nerasi bangsa ini dari sistem sekolah yang mahal. Ini karena hanya kepedulian dan kesadaran dari masyarakatlah yang menjadi kunci kebangkitan pendidikan yang bermutu dan terjangkau. Lalu, atas pemahaman tersebut, masyarakat akan menjadi kritis dan mampu menentukan pilihannya sendiri.
Meminjam istilah Eko Prasetyo (2004), inilah yang dimaksud dengan melawan sekolah mahal lewat gerakan sosial. Fakta yang ditemukan membeberkan bukti bahwa ternyata sekolah itu sangat mahal, sedemikian mahalnya sehingga tidak bisa dijangkau anak-anak orang miskin, karena orang tua mereka tak mampu membayarnya. Untuk itu, diperlukan sebuah gerakan radikal agar sekolah bisa murah.
Oleh karena itu, selain adanya kesadaran dan kepedulian serta langkah konkret yang terus-menerus diusahakan oleh masyarakat, sekolah, atau siapa pun yang terlibat dalam pengelolaan pendidikan, seharusnya mereka tidak menafikan siswa dan wali murid siswa karena latar belakang sosial ekonomi yang berbeda.
Memang tidak banyak pihak yang mau peduli dan memahami posisi demikian, melainkan kebanyakan lebih sibuk dengan urusannya sendiri dan lebih suka menyoal isu-isu sensasional terkini, seperti kasus video mesum mirip artis, makelar kasus pajak, skandal Bank Century, kasus Anggodo Wijoyo, Bibit-Chandra vs Polri, ketimbang harus bersusah payah mengurai benang kusut citra pendidikan di negeri ini.
Di tengah suasana seperti inilah, sudah selayaknya pemerintah dan pihak-pihak terkait merumuskan regulasi untuk penetapan tarif pem¬biayaan pendidikan. Artinya, pemerintah sesuai dengan kapasitas dan fungsinya adalah memberikan perlindungan bagi masyarakat, termasuk dalam praktik penyelenggaraan pendidikan, mulai dari tingkat sekolah dasar sekalipun.
Memanusiakan Manusia
Pendidikan, menurut Paulo Friere, adalah pendidikan yang berporos pada keberpihakan terhadap kaum tertindas (the oppressed). Kaum tertindas bisa bermacam-macam, tertindas rezim otoriter, tertindas oleh struktur sosial-ekonomi-politik yang tak adil dan diskriminatif, tertindas karena warna kulit, agama, gender, ras dan sebagainya.
Paling tidak menurut Friere, ada dua ciri orang tertindas. Pertama, mereka mengalami alienasi dari diri dan lingkungannya. Mereka tidak bisa menjadi subjek otonom, tetapi hanya mampu mengimitasi orang lain. Kedua, mereka yang mengalami self-depreciation, merasa bodoh, tidak mengetahui apa-apa.
Manusia bagi Friere adalah incompleted and unfinished beings. Untuk itulah manusia dituntut selalu berusaha menjadi subjek yang mampu meng¬ubah realitas eksistensialnya.
Menjadi subjek atau makhluk yang lebih manu¬siawi, dalam pandangan Friere adalah panggilan ontologis (ontological vocation) manusia. Filsafat pendidikan Friere bertumpu pada keyakinan, manusia secara fitrah mempunyai kapasitas untuk meng¬ubah nasibnya.
Dengan demikian tugas utama pendidikan (sekolah) sebenarnya sebagai usaha untuk memanusiakan manusia (people empowerment). Ini bukan bentuk pemerahan terhadap peserta didik dengan segala akal bulus caranya.
Sekolah bermutu dan terjangkau untuk semua kala¬ngan akan bisa terwujud jika pemerintah, pejabat terkait, dan seluruh elemen bangsa, terutama orang tua, guru, kepala sekolah, memiliki kesadaran dan kemauan untuk menata, saling mengisi, dan saling melengkapi dalam membangun sistem pendidikan yang benar-benar memihak pada kepentingan rakyat. Jika hal demikian bukanlah harapan bangsa ini, bisa jadi pendidikan di negeri ini telah mati. (Sumber: Sinar Harapan, 12 Juli 2010)

Oleh Pandi Kuswoyo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar