A. Tinjauan Praksis Pendidikan Islam
Proses pendidikan terejawantahkan sebagai hasil kajian dari ilmu  pendidikan yang lebih bersifat praksis. Ilmu pendidikan tidak dapat  dipelajari dari belakang meja tanpa peserta didik dan pendidik, tanpa  tujuan pendidikan dan kebijakan pendidikan. Keadaan ilmu pendidikan di  Indonesia sudah sejak lama oleh sebagian kalangan pakar pendidikan  dikatakan dalam status stagnasi karena terputus hubungannya dengan  praktik pendidikan. Dengan sendirinya banyak kebijakan pendidikan yang  bukan ditentukan oleh data dan informasi di lapangan.
Proses pendidikan terjadi dalam lingkungan pendidikan dengan para  stakeholder-nya yaitu peserta didik, pendidik, orang tua, masyarakat dan  pemerintah. Keberhasilan dan kegagalan yang disebabkan oleh pelaksanaan  kebijakan pendidikan adalah informasi untuk perumusan kembali  kebijakan. Kebijakan pendidikan Islam tidak terlepas dari model H.AR  Tilaar (2009) yang menyatakan bahwa pendidikan di Indoensia seharusnya  memerhatikan Evidence Information Based yakni terkait antara teori,  riset, kebijakan dan praktik pendidikan.
Pendidikan Islam di Indonesia telah berlangsung lama bersamaan dengan  masuknya Islam di Indonesia. Sejumlah literatur tentang sejarah  perkembangan Islam mensinyalir bahwa Islam masuk dan disebar ke  Indonesia melalui pedagang-pedagang yang beragama Islam baik dari Asia  maupun Timur Tengah. Semula pendidikan Islam terlaksana secara informal  antara pedagang dan atau mubaligh dengan masyarakat sekitar. Kegiatan  pendidikan berlangsung di mesjid ataupun di surau/langgar. Setelah  berdirinya kerajaan-kerajaan Islam pendidikan Islam berada dibawah  pengawasan dan tanggungjawab kerajaan. Penyelenggaraan pendidikan Islam  tidak hanya di mesjid dan langgar tetapi juga berkembang ke tempat  khusus untuk belajar ilmu agama Islam secara lebih mendalam, teratur dan  tertib dalam penyampaian  pesan-pesan ajaran Islam tersebut. Tempat  menuntut ilmu Islam ini dikenal masyarakat sebagai pesantren .  
Masuknya  penjajah (khususnya penjajah Barat) di Indonesia membawa banyak  perubahan menadasar dalam dinamika pengajaran dan pendidikan agama Islam  di Indonesia. Penjajahan yang memiliki ciri ingin melanggengkan  kekuasaan di negeri jajahannya itu sedikit banyak telah berhasil  menanamkan paradigma di masyarakat tentang perbedaaan antara pendidikan  Islam dan pendidikan Barat. Sehingga memunculkan  pandangan bahwa  pendidikan Islam di Pesantren lebih pada masalah keakheratan, sedangkan  pendidikan Barat (ilmu-ilmu umum) lebih bertumpu pada persoalan  keduniawian belaka. Paradigma ini terus berlanjut hingga kini. 
Seperti  dikemukakan diatas bahwa sesungguhnya pendidikan Islam itu telah  berlangsung sejak lama. bahkan jauh sebelum pendidikan umum  diselenggarakan oleh penjajah Belanda di bumi Nusantara ini. Disisi  lain, seperti telah disinggung dimuka bahwa sumbangan pemikir dan tokoh  Islam dalam pengembangan ilmu pengetahuan (sebagian mengenalnya sebagai   ilmu pengetahuan Barat) tidak diragukan lagi. Ide, gagasan atau  pandangan yang digali dari wahyu Ilahi berupa ayat-ayat qauliyah serta  hasil-hasil penelitian sebagai fenomena kauniyah merupakan landasan  berpijak para cendikiawan Muslim tatkala mengembangkan suatu ilmu . 
Perkembangan  pendidikan Islam di Indonesia yang semula berangkat dari prakarsa dan  kemandirian, bebas pengaruh otoritas kebijakan, sedikit banyak mulai  terpengaruh. Madrasah sebagai bagian dari lembaga pendidikan Islam cukup  dinamis dalam menanggapi kondisi kekinian masyarakat. Pada awalnya  kurikulum Madrasah menitikberatkan pada pendidikan agama dari pada  ilmu-ilmu umum, tapi kini berbalik yakni: 70% ilmu umum dan 30% agama.
B. Persoalan dan Hambatan
Pada tataran filosofis dan praksis pendidikan Islam di Indonesia tak  luput dari bermacam persoalan baik yang bersifat akut maupun faktual.  Persoalan akut seperti diskursus yang tak kunjnung usai antara ilmu  agama dan ilmu umum. Sementara problema faktual lebih terkait pada  masalah-masalah teknis implementatif pelaksanaan pendidikan Islam.  Peta  pendidikan Islam meliputi pertama: pendidikaan keagamaan yakni diniyah,  pesantren; kedua: matakuliah/ pelajaran Agama Islam di IAIN/Perguruan  Tinggi & TK//SD/SMP/A; serta ketiga: pendidikan umum bercirikan  Islam seperti TKI/RA/BA, SDI/MI/MTs, SMUI/MA/K dan PTAI. Dalam makalah  ini pembahasan problematika pendidikan Islam lebih dititik beratkan pada  hambatan terjadi di pendidikan umum bercirikan Islam terutama tingkat  sekolah dasar hingga menengah yakni Madrasah Ibtidaiyah (SD). Madrasah  Tsanawiyah (SMP) dan Madrasah Aliyah (SMA).
Berdasarkan data yang dikeluarkan Center for Informatics Data and  Islamic Studies (CIDIES) Departemen Agama dan data base EMIS (Education  Management System) Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama, jumlah  Madrasah Ibtidaiyah/MI, Madrasah Tsanawiyah/MTs dan Madrasah Aliyah/MA  sebanyak 36.105 madrasah (tidak termasuk diniyah dan pesantren). Dari  jumlah itu 90,08 % berstatus swasta dan hanya 9,92 % yang berstatus  negeri. Atas dasar itu, madrasah-madrasah swasta yang jumlahnya lebih  banyak daripada madrasah negeri yakni 32.523 buah mengalami masalah yang  mendasar yaitu berjuang keras untuk mempertahankan hidup atau lâ yamûtu  walâ yahya diplesetakan menjadi kurang bermutu dan perlu biaya (agar  lebih bermutu dan tidak mati)). Namun demikian, madrasah bagi sebagian  masyarakat Indonesia tetap memiliki daya tarik. Hal ini dibuktikan dari  adanya peningkatan jumlah siswa madrasah dari tahun ke tahun rata-rata  sebesar 4,3 %, sehingga berdasarkan data CIDIES, pada tahun 2005/2006  saja diperkirakan jumlah siswanya mencapai 5, 5 juta orang dari sekitar  57 juta jumlah penduduk usia sekolah di Indonesia .
Berbagai persoalan dan hambatan mencuat dalam penyelenggaraan  pendidikan Islam tak dapat dielakkan sebagai ekses dari implementasi  kebijakan pendidikan nasional yang di disain  pemerintah. Persoalan di  hulu yang  berkaitan filosofis pendidikan Islam telah menimbulkan  diskursus, demikian pula di hilir pada tataran implementatif pendidikan  Islam masih jauh dari kesempurnaan spirit ajaran Islam. Senyata dan  sejatinya nilai-nilai Islam sangat universal dan  pengejawantahan  nilai-nilai Islam akan membawa manfaat bagi semua (rahmatan lil alamin).
1. Hambatan  Politis: Internal dan Eksternal
Secara  internal hambatan politis terjadi disebabkan terlalu campur tangannya  organisasi massa (ormas) Islam yang memayungi sekolah-sekolah berbasis  keislaman. Keinginan ormas untuk menunjukkan jati diri politis cukup  kental dengan memasukkan sejumlah matapelajaran yang berkaitan dengan  asal usul pendirian ormas tersebut. Sebut saja misalnya ada materi  kemuhammadiyahan yang diberikan mulai dari sekolah dasar hingga ke  perguruan tinggi. Demikian pula materi ahlus sunnah wal jamaah diberikan  untuk sekolah yang berbasis ormas Nadhatul Ulama (NU) atau yang di  dirikan oleh para tokoh NU. Sekolah atau madrasah yang terkait kedua  organisasi massa Islam terbesar di Indonesia itu seolah ingin  menunjukkan jati diri meraka masing-masing sebagai sekolah yang "paling  benar" dalam mengemban misi dan visi keislaman. Alhasil, muatan  kurikulum sekolah-sekolah berbasis ormas ini seakan ‘over dosis' karena  kelebihan beban. Sekolah-sekolah umum berbasis Islam ini tidak hanya  harus mengikuti kebijakan politis ormas yang melahirkannya dengan  mengejawantahkan kebijakan tersebut ke dalam kurikulum sekolah. Tetapi  juga tentunya harus mengkuti ketentuan dan kebijakan pemerintah dalam  hal ini Kementerian Pendidikan Nasional sebagai Pembina utama  sekolah-sekolah tersebut. 
Persoalan politis yang berasal dari  internal umat Islam ini memang sudah menjadi ciri khas dari kedua  organisasi keagamaan terbesar di Indonesia itu. Mereka saling berupaya  secara sendiri-sendiri ingin menampilkan keunggulannya masing-masing.  Konsekuensinya, penyelenggaraan pendidikan Islam yang ada di Indonesia  ini berkembang tanpa sinergitas dan perbedaan yang diramu untuk suatu  keunggulan yang lebih besar. Masing-masing ormas tetap ingin  mempertahankan jati diri dan kekhasannya sendiri-sendiri. Maka, untuk  kondisi saat ini masih sulit memimpikan kebersamaan antara kedua ormas  tersebut dalam bekerjasama untuk melahirkan sekolah-sekolah Islam yang  efektif dan di segani tidak hanya di Indonesia tetapi di kancah  internasional.
Dari hambatan politis bersifat internal antar umat  Islam (baca: ormas Islam) di Indonesia, penyelenggaraan pendidikan Islam  juga dihadapkan hambatan politis yang bersifat eksternal. Hambatan  disebabkan berbagai kebijakan pemerintah yang kurang memerhatikan  maksimal terkait dengan penyelenggaraan pendidikan Islam.Walau diakui  ada kemajuan tapi masih jauh dari harapan rakyat Indonesia yang  mayoritas berpenduduknay beragama Islam.   
Secara politis  kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia diatur melalui UU  sistem pendidikan nasional no 20 tahun 2003 diakui memang memuat  keberadaan pendidikan Islam seperti madrasah dan pesantren. Namun  pencantuman Madrasah dalam UU itu sekedar "pelengkap" komponen utama  pendidikan nasional. Kenapa demikian? Karena dalam tataram praksis  perhatian penyelenggara Negara tampaknya lebih menaruh perhatian dan  fokus pada sekolah-sekolah umum (dibawah pengawasan Kemendiknas) baik  dari sis teknis peningkatan mutu persekolahan maupun sisi anggaran yang  tersedia. Padahal, menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan nasional  (UUSPN), madrasah memiliki kedudukan dan peran yang sama dengan lembaga  pendidikan lainnya (persekolahan). Dengan kenyataan ini seringkali  tatkala membahas pengembangan persekolahan, sistem pendidikan Islam  (madrasah) tidak ikut dikaji secara baik oleh pemangku kebijakan bahkan  cenderung diabaikan  "neglected community".  
Desentralisasi,  demokrasi dan otonomi merupakan isu yang mengemuka sekarang ini sebagai  dampak dari implementasi UU no.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan  Daerah. Undang-undang itu menyatakan bahwa desentralisasi adalah azas  dan proses pembentukan otonomi daerah dan penyerahan wewenang pemerintah  di bidang  tertentu oleh Pemerintah Pusat. Otonomi ini meliputi juga  sektor pendidikan, sehingga menampakkan kesan dualisme dalam pengelolaan  pendidikan antara Pusat dan Daerah. Pada bagian lain pendidikan umum  berciirikan Islam (madrasah) ditangani Kementerian Agama sedangkan  sekolah umum bercirikan Islam diawasi Kementereian Pendidikan Nasional.  Padahal berdasarkan teori sistem yang dikemukakan David Easton dalam HAR  Tilaar (2009) manajemen pendidikan memerlukan  keterpaduan penggerakan  sistem sebagai syarat penting keberhasilan sistem . 
Secara  sociocultural politis pendidikan Islam berlangsung semenjak masuknya  Islam di persada Nusantara. Sejak lama masyarakat menumbuh-kembangkan  pendidikan Islam baik di mesijid maupun pesantren dengan cara bergotong  royong. Kemandirian adalah cirri utama pemdidikan Islam kala itu. Hanya  saja stigma pendidikan Islam merupakan urusan akherat begitu mengental  hingga mempengaruhi tumbuh kembang disiplin ilmu selain agama. Padahal,  dunia Barat maju seperti sekarang ini tidak terlepas dari hasil kajian  cendekiawan Muslim terdahulu. Di Indonesia, dalam konteks sociocultural  politics, skenario penjajah yang berciri "devide et impera" sukses  memisahkan urusan dunia dan ukhrowi, efeknya terasa hingga kin tatkala  muncul kesadaran untuk tidak memisahkan keduanya.
2. Hambatan Kultural: Internal dan Eksternal
Kita  sangat menyayangkan hingga kini lembaga-lembaga pendidikan Islam masih  sulit dijadikan model lembaga pendidikan yang paripurna dan berlaku umum  di Indonesia. Hal ini disebabkan lemahnya kinerja yang ditunjukkan  serta rendahnya motivasi untuk menjadikan lembaga pendidikan Islam ini  sebagai "kawah candradimuka" para intelektual yang agamis dan para ulama  yang intelektual. Kurangnya kesungguhan penyelenggara pendidikan Islam  dalam mengelola lembaga pendidikan Islam seperti madrasah dan sekolah  berbasis keislaman disinyalir karena kesadaran umat Islam atas kewajiban  menuntut ilmu masih rendah. Gejala rendahnya budaya membaca, belajar  dan bekerja keras menunjukkan bahwa pemahaman umat Islam tentang  nilai-nilai Islam belum merata dan menjadi hambatan untuk maju  berprestasi. Pengelola merupakan pencerminan dari kondisi umat islam  yang tidak terlepas dari hambatan kultural internal tersebut. Pengelola  belum mampu bangkit menjadi "agent of change", para pembaharu perilaku  dan budaya untuk menerapkan nilai-nilai Islam dalam bentuk ketauhidan  social seperti menegakkan disiplin sekolah secara ajeg dan konsisten,  menyebarkan budaya membaca dan bekerja keras serta nilai-nilai social  keislaman lainnya. 
Kondisi internal umat Islam yang masih lemah  untuk menanam-suburkan nilai-nilai Islam itu oleh para penyelenggara dan  pengelola pendidikan Islam, pada akhirnya berpengaruh juga pada  persepsi masyarakat terhadap lembaga pendidikan Islam. Fenomena kondisi  cultural umat Islam yang menyelenggarakan pendidikan Islam merupakan  aspek internal yang saling kait mengkait dengan persepsi umat Islam di  luar lembaga tersebut. Sehingga kedua-duanya (kultural internal dan  eksternal) menjadi hambatan bagi kemajuan dan pengembangan mutu  penyelenggaraaan pendidikan Islam. Persepsi masyarakat sudah terlanjur  terpengaruh dengan paradigm bahwa pendidikan Islam hanya berkutat pada  masalah agama dan kurang menaruh perhatian pada pengembangan aspek-aspek  lainnya seperti kecerdasan intelektual dan sosial. 
Hambatan  kultural baik yang berasal dari dalam (internal) maupun dari luar  (eksternal) masih ditambah dengan sistem pendidikan nasional yang  terkesan juga terjebak diskursus dikotomi antara ilmu-ilmu umum dan  agama. Persepsi masyarakat sudah terlanjur terbentuk sangat kuat tentang  hal itu. Terlebih lagi penguasaan agama sebagian umat Islam juga masih  rentan dipengaruhi budaya-budaya lokal setempat yang ternyata ssulit  dihilangkan, bahkan cenderung dapat menguburkan nilai-nilai Islam  sesungguhnya. Budaya-budaya lokal yang diadopsi tanpa landasan filosofis  yang kuat bisa menjadi boomerang kemajuan umat Islam.  (Bersambung......)
sumber : http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2656:problematika-pendidikan-islam-di-indonesia&catid=35:artikel-dosen&Itemid=210
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar